Tahun 70an sampai awal 90an, kita masih sering melihat mahasiswa luar daerah yang kos di Jogja ikut ronda, kerja bakti kampung, bahkan membantu pemilik kos mengecat atau benerin genteng rumah. Tidak jarang anak kos ikut makan di dalam, baik karena warung masih jarang ataupun alasan hidup irit. Pemilik kos juga oke-oke saja karena menganggap mahasiswa luar daerah adalah anak-anak yang sedang prihatin, jadi perlu dibantu.
Banyak warung di sekitar UGM atau UNY ketika itu kalendernya penuh lingkaran dan coretan spidol. Mau tau kenapa? Itu adalah catatan hutang makan anak-anak kos yang weselnya telat. Hubungan pemilik warung dan anak kos demikian dekat juga karena alasan kemanusiaan. Hutang makan itu tidak mengenal prinsip perjanjian bisnis yang ada temponya. Pokoknya, hutang baru dibayar kalau kiriman uang dari kampung sudah tiba. Dan satu mahasiswa yang kos bisa punya hutang makan di dua atau tiga warung yang berbeda.
Anak kos juga hidup selayaknya orang kampung setempat. Tidak sibuk di kamar dan hanya keluar seperlunya. Banyak yang ikut nongkrong di pinggir jalan, ngobrol sampai malam bahkan begadang sampai pagi di akhir pekan. Kalau pulang kampung, mereka balik ke Jogja membawa oleh-oleh buat pemilik kos. Bukan sekadar makanan kecil, kadang bahkan beras, bawang merah, lombok, sampai ayam. Pokoknya apa yang dipunya orang tua di kampung dibawa. Itu adalah hubungan kekeluargaan yang luar biasa hangat.
Sekarang?
Tidak ada lagi anak kos ikut ronda, kerja bakti, apalagi mbenerin genteng rumah kosnya. Barangkali terlalu sibuk dengan kuliah dan tugas-tugas. Tidak ada lagi cerita kalender penuh catatan spidol berisi daftar hutang makan anak kos. Semua dibayar tunai pada saatnya. Transaksinya standar. Bukan lagi hubungan dua anak manusia yang menjadi saudara, kos telah menjadi bisnis murni dan yang ada adalah penjual dan pembeli.
Kalau kita rasan-rasan dengan para pemilik kos, ada kerinduan dari cerita-cerita mereka soal masa lalu kehidupan kampung yang penuh kos-kosan di sekitar kampus. Artinya, sebagai orang Jogja, para pemilik kos ini sebenarnya masih ingin dianggap sebagai saudara oleh anak-anak kos. Tapi di sisi yang lain, kalau mahasiswa gerundelan soal kosnya, suaranya hampir senada. Mereka juga mengeluhkan iklim bisnis yang terlalu melekat di sektor persewaan kamar ini.
Artinya, memang ada perubahan di kedua belah pihak.
Kita sebenarnya kangen dengan hubungan manusiawi antara pemilik kos dan mahasiswa ngekos. Kita ingin melihat lagi Jogja yang hangat kepada para pendatang. Di sisi lain, kita juga ingin melihat anak-anak muda yang datang ke Jogja dengan membawa semangat kekeluargaan.
Hidup sebagai mahasiswa kos di Jogja jangan sampai terlewat hanya dengan belajar ilmu di kampus. Tinggal di Jogja adalah kesempatan besar untuk mengecap budaya masyarakat setempat. Tidak hanya menikmati gudeg yang manis, tetapi sekaligus merasakan manisnya kehidupan bertetangga di kampung.
Mari kita kembalikan ruh persaudaraan semacam itu. Perlakukan mereka yang datang untuk belajar di Jogja sebagai anak-anak kita sendiri. Dan untuk mahasiswa luar daerah yang datang ke Jogja, anggaplah pemilik kos sebagai orang tua.
Sumber: FB @syauqisoeratno